Nasi Ulam Misjaya

Nasi ulam merupakan salah satu makanan khas Jakarta yang nyaris dilupakan. Kebanyakan orang mungkin hanya menjawab nasi uduk, gado-gado, dan kerak telor saja jika ditanyakan mengenai makanan khas kota Batavia. Padahal nasi ulam merupakan salah satu kuliner Jakarta yang unik dan tidak kalah enaknya dengan nasi uduk.

Selain mulai jarang ditemui, resep nasi ulam yang asli juga mulai berubah. Pada awalnya, nasi ulam adalah nasi putih yang ditaburi serundeng kelapa di atasnya, kemudian disantap dengan taburan kacang hijau,  ketimun, dan daun kemangi. Adapun saat ini, nasi ulam yang kita temui adalah nasi putih ditaburi cincangan kacang tanah, bihun goreng, kuah semur, daun kemangi, ketimun dan dilengkapi dengan bervariasi lauk pauk mulai dari perkedel hingga cumi asin. Tidak lupa kerupuk aci sebagai penambah kenikmatan makan.

Meskipun makanan khas Jakarta, tapi orang Tionghoa-lah yang justru menjadi salah satu penyelamat kuliner warisan nusantara ini. Adalah Encek Lamceng yang pada awalnya berdagang nasi ulam pada tahun 1960an. Nasi ulam Encek Lamceng dijual oleh karyawan-karyawannya dengan pikulan. Sayangnya, karena tidak memiliki keturunan, nasi ulam Encek Lamceng pun ikut pergi ketika Encek Lamceng harus menutup usianya.

Nasi ulam yang paling terkenal saat ini mungkin nasi ulam Misjaya yang terletak di depan Kelenteng Toa Se Bio di kawasan Petak Sembilan. Kawasan ini merupakan kawasan Pecinan Jakarta yang dikelilingi oleh lokasi-lokasi kuliner yang bersejarah dan bercitarasa wah. Nasi ulam Misjaya sangat laku. Sehari ia berjualan 200 hingga 400 piring nasi ulam. Uniknya, nasi ulam yang dikenal sebagai menu sarapan orang Betawi ini justru dijualnya pada sore hingga malam hari. Hal ini terjadi karena langganan-langganan Misjaya yang mayoritas orang Tionghoa meminta ia untuk berjualan di malam hari, sebagai teman kongkow bersama kawan-kawan.

Awalnya Misjaya berjualan pada tahun 1960-an dengan pikulan. Saat itu ia masih karyawan dari Encek Lamceng. Ia mulai berjualan dengan gerobak pada tahun 1974. Saat ini ia hanya mangkal di Jalan Kemenangan, Petak Sembilan, tepatnya di depan Kelenteng Toa Se Bio. Sepiring nasi ulam ditemani oleh beberapa pilihan lauk: telur dadar, semur tahu, semur kentang, semur tempe, tempe goreng tepung, cumi asin, dendeng sapi, dan perkedel. Meskipun nasi ulamnya sudah terkenal hingga diliput oleh media massa, ia tetap berjualan dengan sederhana: sebuah gerobak pinggir jalan.

Sore itu Nasi Ulam Misjaya baru saja mulai berjualan. Belum ramai, hanya 1-2 orang yang sedang makan di sana. Saya pun memesan sepiring nasi ulam dengan lauk telur dadar dan tempe goreng tepung. Hanya sesaat setelah saya duduk di kursi yang sudah disediakan, karyawan Misjaya sudah mengantarkan nasi ulamnya ke meja saya. Sepiring nasi putih dengan taburan kacang tanah cincang, bihun goreng, irisan ketimun, daun kemangi, bawang goreng, kerupuk aci, emping, kemudian diguyur dengan kuah semur yang agak pelit.

Sepiring nasi ulam siap disantap
Sajian khas Betawi bernuansa Tionghoa yang harmonis

Beberapa kali saya sudah mencicipi nasi ulam di tempat-tempat lain. Nasi ulam Misjaya memang lebih enak dibandingkan yang lain. Kuah semurnya manis gurih, cocok untuk mengguyur nasi putih yang sudah terlanjur gurih akibat taburan kacang tanah dan bawang goreng. Sesekali tergigit irisan ketimun yang menciptakan rasa segar di mulut. Supaya lebih sedap lagi, sengaja saya lalap daun kemangi yang wangi itu.

Soal lauk, nasi ulam memang sudah melalui proses pembauran dengan budaya lain. Dendeng merupakan bukti bahwa nasi ulam Jakarta mendapat pengaruh dari etnis Tionghoa. Dendeng sajian nasi ulam Misjaya terkenal gurih dan manis, salah satu lauk favorit saya setelah telur dadar. Telur dadarnya sendiri hanyalah telur dadar biasa, tetapi dimasak hingga kondisi yang pas sehingga rasanya juga istimewa. Sayangnya, tempe goreng tepung yang saya pesan agak keras. Secara keseluruhan, nasi ulam Misjaya memang juara! Tapi masih juara 2, karena jujur saja saya pernah menemui nasi ulam yang lebih enak, lokasinya di depan kantor PLN Bandengan, mungkin akan saya ulas di sini suatu hari kalau saya sempat ke sana lagi.

Sepiring nasi ulam dengan lauk telur dadar dan tempe goreng tepung saya bayar dengan Rp16.000. Tanpa telur dadar dan tempe, menjadi Rp10.000. Segelas air putih gratis disajikan untuk menutup hidangan makan malam saya. Langit kota Jakarta semakin gelap pertanda malam telah datang, tetapi meja makan milik nasi ulam Misjaya justru semakin ramai didatangi pengunjung.

Nasi Ulam Misjaya
Jl. Kemenangan III
Depan Toa Se Bio, Jakarta Barat
16.00 - malam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sakura Anpan, "Modern Bakery" Zaman Babeh Kite

Gado-Gado/Asinan CiKiNi dengan Lontong Gap Go Meh Terenak di Jakarta!

Nasi Ulam dari Warung Bu Yoyo, Otentik Betawi